Alkisah suatu hari Laksamana Cheng Ho sedang berlayar melewati Laut Jawa. Tidak disangka tidak diduga… ada seorang awak kapalnya yang sakit, namanya Wang Jinghong atau juga dikenal sebagai Kiai Juru Mudi Dampo Awang. Laksamana Cheng Ho yang peduli dengan awaknya pun meminta untuk membuang sauh, agar kapal bisa berlabuh dan awak kapalnya bisa beristirahat.
Diceritakan mereka memang sedang menempuh perjalanan jauh dari negeri asalnya, China daratan. Perjalanan panjang itu memang melelahkan, dan mempengaruhi stamina awak kapal Laksamana Cheng Ho. Hingga memaksa mereka untuk berlabuh di Semarang.
Tidak disangka, kalau keputusan Laksamana Cheng Ho ini akan menjadi cerita tersendiri dan membuat sejarah baru di Semarang. Karena ketika setelah mendarat Laksamana Cheng Ho kemudian membuat masjid yang berada di tepi pantai, dan perkembangannya sekarang menjadi sebuah klenteng yang dikenal dengan nama Klenteng Sam Poo Kong.
Saya Berterimakasih kepada Laksamana Cheng Ho Juga, karena kalau ingin melihat keelokan bangunan ber-asitektur China, saya tidak perlu jauh – jauh pergi kesana, cukup naik kereta atau pesawat ke Semarang saja. Seperti yang saya sebutkan, di Semarang sudah ada Klenteng Sam Poo Kong atau juga dikenal dengan Klenteng Gedong Batu dengan arsitektur khas China daratan. Sampai sekarang, ini adalah klenteng terluas yang pernah saya kunjungi, luasnya sendiri kira – kira lebih dari 1.000 meter persegi.(teruskan baca pencet link bwh....)
[https://sampookongindonesia.blogspot.com/2016/12/alkisah-suatu-hari-laksamana-cheng-ho.html]
Sekarang, tiap harinya banyak yang berkunjung ke Klenteng Sam Poo Kong. Iya, tempat ini telah menjadi salah satu destinasi wisata di Semarang. Selain untuk sekedar berwisata sejarah, ada juga yang ingin ke berkunjung ke klenteng ini untuk beribadah. Memang Klenteng sendiri sebenarnya adalah sebutan untuk bangunan peribadatan penganut agama Budha, Kong hu cu dan Taoisme. Pun, pengunjung biasa yang beragama lain tetap boleh memasuki Klenteng Sam Poo Kong.
Klenteng Sam Poo Kong ini juga dikenal dengan nama Kenteng Gedong Batu. Hampir semua bangunannya didominasi dengan warna merah dan terdapat banyak patung dewa dewi di sekitarnya. Beberapa bangunan beratap susun dua, bahkan ada yang susun tiga untuk bangunan yang berada di tengah. Sepertinya itu adalah bangunan utama di klenteng ini. Memang arsitektur bangunan yang seperti ini adalah akulturasi arsitektur dari China Daratan.
Ada beberapa bangunan yang ada di Klenteng Sam Poo Kong, namun bangunan utamanya adalah sebuah gua batu yang juga tempat utama di kawasan klenteng ini. Gua batu ini dulunya digunakan Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam sebagai tempatnya melakukan ibadah sholat. Uniknya, Laksamana Cheng Ho juga menjadikan gua itu sebagai tempat beribadah untuk para awak kapalnya yang beragama Budha. Tidak heran kalau sekarang berdiri sebuah klenteng juga.
Gua aslinya sendiri sebenarnya sudah runtuh karena longsor pada tahun 1704, ketika Laksamana Cheng Ho melanjutkan perjalanannya. Namun gua batu yang memiliki mata air yang tak pernah kering tadi dibangun lagi sebagai duplikat yang asli karena dipercaya sebagai petilasan dan tempat yang pernah ditinggali Sam Po Tay Djien atau Laksamana Cheng Ho.
Selain Gua Batu, area Klenteng Sam Po Kong Gedong batu terdiri atas beberapa bangunan lain. Seperti beberapa bangunan pemujaan utama Klenteng Besar, Klenteng Tho Tee Kong dan beberapa tempat pemujaan lain yang dikenal dengan Kyai Juru Mudi, Kayai Jangkar, Kyai Cundrik Bumidan mbah Kyai Tumpeng.
Saya kemarin mengunjungi Kelnteng Sam Poo Kong karena dalam rangka melihat kemeriahan Imlek di Semarang dan di Solo. Jadi, mumpung lagi ada di Semarang, saya berkunjung sambil melihat – lihat dan menikmati keindahan arsitektur klenteng ini. Tidak lupa saya sedikit bertanya tentang sejarahnya kepada Mas Albert yang merupakan guide resmi di klenteng ini.
Disebutkan juga, biasanya pengunjung datang kesini untuk berziarah dan melakukan ritual yang dinamakan Ciam Si yang dimaksudkan untuk dapat melihat suatu keberuntungan peziarah di masa depan. Well, saya tidak melakukan itu karena saya adalah orang yang percaya kalau keberuntungan itu adalah akumulasi kerja keras. Jadi kalau ingin beruntung, yang saya lakukan adalah bekerja lebih keras hingga keberuntungan itu tiba.
Untuk yang percaya dengan ritual Ciam Si, ritual ini sendiri adalah dengan membakar hio atau dupa di dalam gua batu lalu melemparkan kepingan didepan altar sembahyang yang ditandai dengan Im dan Yang. Apabila hasil lemparan tersebut salah satu keping terbuka dan satunya lagi tertutup, dipercaya pengunjung akan memperoleh keberuntungan.
Ada juga cara lainnya, yaitu peziarah melemparkan sekumpulan batang bambu secara acak, lalu apabila terdapat batang bambu yang jatuh di hadapan altar sembahyang, batang bambu tersebut tinggal diserahkan kepada petugas/ juru kunci yang ada disana.
Nantinya, petugas/juru kunci mengambil selembar kertas yang telah dinomori 1 sampai dengan 28. Nomor yang diambil tentu disesuaikan dengan batang bambu yang jatuh. Kertas yang bernomor tadi adalah berisi syair-syair dengan maknanya akan diterjemahkan oleh juru kunci. Dipercaya itu merupakan gambaran bagian dari peruntungan nasib pengunjung yang melakukan ritual Ciamshie di masa depan.
Saya masuk ke Klenteng Sam Poo Kong dari pintu yang ada di bagian utara. Melewati pintu masuk saya melihat ada mushola disebelah kiri untuk beribadah pengunjung muslim. Seharusnya seperti ini yang dinamakan toleransi di Indonesia. Tidak ada saling menghujat, tiada yang saling berperang, semua berjalan dengan harmonis dan berdampingan.
Melewati mushola ada beberapa pilihan. Langsung menuju bagian terbuka di tengah – tengah lalu mengabadikan foto tiga bangunan utama, atau beristirahat dan bersantai dibawah pepohon sebelum melanjutkan untuk melihat bangunan utama dari dekat.
Saya sendiri langsung menuju bagian terbuka dan mengabadikan beberapa moment lalu berlanjut menjelajah bangunan utama klenteng. Kalau dari pintu masuk utama, saya hanya tinggal belok kanan dan lurus menuju pintu yang berada di sebelah utara area bangunan utama Klenteng Sam Poo Kong.
Buat saya, bagian bangunan utama ini yang paling menarik dan menyenangkan untuk tempat berburu foto. Ada banyak ornamen barang yang berwarna dominan merah, relief yang menggambarkan sejarah Pelayaran laksamana Ceng Ho, hingga beberapa lampion yang ternyata sumbangan beberapa pengunjung yang berziarah kesini. O iya, kata guide yang menemani kemarin, tiap lampion katanya harganya bisa lebih dari satu juta. Wah! Mahal juga ya!
Di bangunan utama ini, yang paling menarik buat saya adalah melihat satu persatu relief di dinding yang menggambarkan perjalanan sang laksamana. Relief ini kira – kira panjangnya 60 meter dan tingginya sekitar delapan meter dan terbuat dari semen. Untuk relief yang begitu detail, ternyata ini dikerjakan oleh pengukir yang didatangkan dari Ubud,Bali. Lengkap sudah akulturasi budaya di Klenteng Sam Poo Kong ini. Sekarang, bahkan ada kebudayaan bali ikut meresap disini.
Secara lengkap relief yang menceritakan beberapa sejarah perjalana Laksamana Ceng Ho terdiri dari 10 diorama yang saling bersambung. Pada sebuah relief ada yang menceritakan ketika laksamana membantu mengatasi perang saudara, yaitu perang saudara antara raja jawaWikramawardhana melawan Wirabumi. Atau cerita penumpasan besar besaran 5000 bajak laut. Saking menyenangkannya, melihat dengan perlahan relief yang ada disana, seakan saya sedang mengalaminya sendiri.
Tidak diragukan lagi, Klenteng Sam Poo Kong ini adalah salah satu cagar budaya di Kota Semarang yang menyenangkan untuk dijadikan sebagai destinasi liburan sambil belajar sejarah. Jauh lebih baik mendengarkan penjelasan guide sambil berkeliling klenteng, dari pada sekedar duduk di bangku kelas sambil mendengarkan cerita bapak atau ibu guru sejarah yang kadang bisa membuat saya cepat terlelap.
Post a Comment